Mahasiswa saat ini lebih pinter atau lebih masa bodo?

Beberapa waktu lalu membaca hasil survei yang menyesakkan. Berdasarkan parameter PISA, kemampuan literasi dan numerik anak-anak kelas 1 SMP saat ini, setara dengan kelas 4 SD jaman sebelum reformasi. Masa-masa pandemi ini diperkirakan akan ada penurunan kemampuan anak-anak SD dan SMP, sekitar 15%. Saat ini Indonesia ada darurat pendidikan dasar.


Pada Sabtu lalu, berkesempatan menjadi juri babak Final Accounting Olympiad yang diadakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi UMY. Cukup mencengangkan, dari ketiga finalisi masing-masing memiliki kemampuan diatas rata-rata untuk penyelesaian kasus-kasus audit. Salah satunya bahkan sudah bisa membahas kasus tersebut poin-per-poin disandingkan dengan ketentuan standar audit terbaru berbasis International Standard on Auditing (ISA).

Apakah para finalis tersebut adalah pengecualian, atau secara umum mahasiswa saat ini lebih pintar?
Saat ini mencari informasi dan pengetahuan sangatlah mudah. Istilahnya mungkin justru banjir informasi. Tetapi kemampuan berpikir kritis semakin menjadi tantangan.


Kita tentu tidak hanya ingin lulusan yang jago menghapal dan piawai dalam menyelesaikan soal-soal (dengan metode cara cepat bimbel). Kita butuh lulusan yang mampu berpikir komprehensif, mampu mengidentifikasi masalah, mengembangkan alternatif solusi dan membuat keputusan atau rekomendasi berdasarkan pilihan terbaik yang ada.
Seperti beberapa ahli menyampaikan kemampuan intelektual adalah jika seseorang mampu memahami dua hal yang bertolak belakang, dan menimbang pilihan terbaik. Tidak ada yang hitam putih di dunia nyata, semuanya butuh pertimbangan dan kecermatan.


Jadi sepertinya saat ini kemampuan individual untuk mandiri dan merdeka mencari ilmu sangat diperlukan. Pilihannya banyak, sumbernya tersedia dan tinggal kemampuan mahasiswa dan peserta didik.
Pada beberapa sesi untuk pengantar manajemen Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan pengelolaan keuangan di masa pandemi, peserta dari desa dan UMKM terlihat lebih antusias. Pada kesempatan lain, menyampaikan hal yang sama dengan audiens mahasiswa, justru tidak muncul pertanyaan-pertanyaan kritis dan berbobot.


Apakah mahasiswa semakin kehilangan daya kritis dan semangat ingin tahu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *